Kinerja ekonomi Indonesia pada 2017 diprediksi lebih baik
dibandingkan tahun ini dengan tingkat pertumbuhan mencapai 5,2%. Ada dua
sumber utama pertumbuhan ekonomi tahun depan, yakni konsumsi rumah
tangga yang diperkirakan tumbuh 5,1%, dan investasi yang diperkirakan
tumbuh 5,5%.
Adapun pertumbuhan ekspor, diperkirakan juga akan
keluar zona negatif setelah harga komoditas kembali menunjukkan
tren kenaikan meskipun masih sangat marginal.
Kecenderungan
perdagangan global yang terus melambat, bahkan tahun ini merupakan
yang terendah sejak 2009, memang belum mampu mendorong ekspor
tumbuh ekspansif.
Masih kuatnya peran konsumsi swasta yang
menyumbang 55,3% terhadap PDB nasional, patut disyukuri. Pasalnya,
banyak negara saat ini harus bekerja keras melakukan transformasi untuk
meningkatkan porsi konsumsi rumah tangganya sebagaimana yang dilakukan
China, Jepang dan negara-negara Uni Eropa.
Selain ditopang oleh
pertumbuhan populasi 1,4% per tahun, peran kelas menengah atas juga
masih sangat ekspansif dalam berbelanja. Selama periode 2010-2015,
konsumsi menengah atas (desil 6-10) masih dapat tumbuh di atas 5%.
Konsumsi beberapa barang dan jasa yang merupakan tipikal konsumsi
penduduk menengah atas seperti telekomunikasi, hotel dan restoran
dalam tiga kuartal pertama tahun ini tumbuh di atas 5%.
Meski
demikian, pertumbuhan konsumsi rumah tangga masih timpang. Rumah tangga
termiskin (desil 1 saja) hanya tumbuh 2,3%. Angka ini jauh di bawah
kelas menengah (desil 5) yang tumbuh 4,2% apalagi paling atas (desil
10) yang tumbuh sampai 9,7%. Oleh sebab itu, pemerintah perlu melakukan
usaha ekstra untuk memastikan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang
lebih merata dengan mendorong kenaikan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat kelas menengah bawah.
Dengan demikian,
rasio gini yang setahun terakhir turun dari 0,41 (2015) menjadi
0,40 (2016) dapat lebih didorong oleh peningkatan pendapatan kelas
bawah, bukan karena turunnya pendapatan kelas atas.
Salah satu
kebijakan pemerintah yang dapat mendorong peningkatan konsumsi
tahun depan adalah peningkatan upah buruh dengan persentase seragam.
Pemerintah melalui Paket Kebijakan IV telah menetapkan UMP tahun depan
sebesar 8,25% yang didasarkan pada UMP tahun ini ditambah dengan
inflasi (3,07%) dan pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini (5,18%).
Namun
demikian, kebijakan ini akan memberikan dampak yang berbeda-beda
bagi buruh tiap daerah, mengingat tingkat inflasi di beberapa daerah
lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat inflasi nasional. Selain itu,
porsi besar dari pengeluaran buruh cenderung adalah pengeluaran untuk
pangan yang tingkat infla
sinya lebih tinggi dibandingkan inflasi umum.
sinya lebih tinggi dibandingkan inflasi umum.
Apalagi
potensi kenaikan inflasi tahun depan relatif lebih tinggi,
terutama dari sisi inflasi administered price. Pemerintah tahun depan
rencananya akan mengurangi penerima subsidi listrik daya 900 VA secara
drastis dari 22,96 juta rumah tangga (RT) menjadi 4,05 juta RT.
Sementara
itu, pelanggan penerima subsidi untuk daya 450 VA dikurangi dari 23,14
juta menjadi 19,01 juta RT. Penjualan LPG 3 kilogram anggarannya juga
akan dipangkas dan didistribusikan secara tertutup kepada rumah tangga
miskin.
HARGA KOMODITAS
Sementara itu, harga komoditas yang
mulai membaik pada beberapa bulan terakhir ini dapat memberikan dampak
positif bagi rumah tangga di sektor pertanian. Kenaikan harga sawit pada
Januari hingga Oktober yang mencapai 9% dibandingkan periode yang
sama tahun lalu, berperan besar dalam peningkatan konsumsi swasta di
Sumatra sebesar 5,21%, yang notebene menyumbang 70% dari produksi sawit
nasional.
Pendapatan masyarakat Kalimantan yang bergantung pada
sektor pertambangan juga diperkirakan akan meningkat terbatas sejalan
dengan harga komoditas energi khususnya batubara yang diperkirakan akan
lebih tinggi tahun depan.
Pentingnya perbaikan harga komoditas
disektor pertanian ini sangat penting karena terdapat 32% tenaga kerja
di negara ini yang menggantungkan pendapatannya pada sektor tersebut.
Selain
itu, di saat yang sama inflasi makanan yang memenuhi lebih dari 60
persen keranjang belanja masyarakat bawah juga perlu dikendalikan. Tanpa
itu, nilai tukar petani yang masih berkutat di kisaran 100 atau titik
impas antara pendapatan dan pengeluaran, akan sangat lemah untuk
mendorong konsumsi.
Kualitas serapan tenaga kerja
sebenarnya sangat berkorelasi dengan pembenahan kualitas konsumsi rumah
tangga. Tahun ini tingkat pengangguran memang telah berkurang dari 6,2%
pada Agustus 2015 menjadi 5,6% pada Agustus 2016. Meskipun demikian,
tambahan 3,6 juta pekerjaan tahun ini sebagian besar disumbangkan oleh
sektor-sektor yang menghasilkan nilai tambah rendah, yaitu sektor
perdagangan (37%), sektor jasa kemasyarakatan (25%) dan sektor
transportasi (12%).
Oleh sebab itu, upaya pemerintah
untuk mendorong peningkatan investasi harus memperhatikan efeknya
terhadap peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja.
Jika
produktivitas tenaga kerja semakin baik, maka pendapatannya pun
terdorong naik, sehingga pada gilirannya akan meningkatkan daya beli
mereka.
Optimisme konsumsi rumah tangga sebagai motor penggerak
pertumbuhan ekonomi tahun depan akan menjadi lebih baik apabila
pemerintah konsisten dengan bauran kebijakannya dalam mendorong
pendapatan masyarakat, khususnya kelas menengah bawah.
*DWI RAHMAYANI
Peneliti Muda CORE Indonesia (Center of Reform on Economic)
Dipublikasikan: Bisnis Indonesia, 28 November 2016.
E-Paper Bisnis Indonesia
Peneliti Muda CORE Indonesia (Center of Reform on Economic)
Dipublikasikan: Bisnis Indonesia, 28 November 2016.
E-Paper Bisnis Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar