Tahun
2016 menjadi catatan buruknya kinerja sektor manufaktur Indonesia yang tumbuh
hanya 4,29% (yoy). Ini merupakan titik terendah selama beberapa dasawarsa
terakhir, kecuali dibandingkan masa krisis tahun 2008/2009 dan 1998/1999. Kontribusi
manufaktur terbesar terjadi pada saat masa ledakan minyak bumi dunia selama
tahun 1973-1981 yang mencapai 36% (yoy). Manufaktur saat itu tumbuh rata-rata
13% per tahun, jauh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi yang mencapai 7,6%
(yoy). Sayangnya, semenjak krisis ekonomi tahun 1997/1998 hingga sekarang,
kontribusinya terus merosot.
Turunnya
kontribusi serta pertumbuhan manufaktur ini disebabkan oleh berbagai faktor,
baik global maupun domestik. Pada sisi global, merosotnya kinerja manufaktur ini
disebabkan oleh rendahnya daya saing, gempuran produk impor, serta menurunnya
harga komoditas dunia. Berdasarkan Indeks Daya Saing Global 2016-2017,
peringkat Indonesia turun dari posisi ke-37 menjadi ke-41. Daya saing global
Indonesia masih sangat lemah, bahkan jika dibandingkan negara tetangga, seperti
Singapura yang berada di peringkat ke-2, Malaysia peringkat ke-25, dan Thailand
peringkat ke-34.
Gempuran
produk asing pun semakin menekan ruang gerak produk lokal Indonesia. Impor
komoditas mamin sepanjang Januari-November 2016 tumbuh sebesar 19,1% (yoy),
disusul barang konsumsi semi-tahan lama (13,1%, yoy) dan konsumsi tahan lama
(10,6%, yoy). Tingginya pertumbuhan impor baik barang konsumsi maupun bahan
baku/penolong ini juga menunjukkan tingginya ketergantungan impor.
Harga
komoditas dunia dimana cenderung menurun sepanjang tahun 2016 juga semakin
memperparah kondisi manufaktur. Kondisi ekonomi di China, Amerika Serikat dan
Uni Eropa yang melemah, ditambah dengan turunnya harga komoditas berdampak
langsung pada turunnya daya beli masyarakat di sejumlah negara besar. Ekspor
Indonesia yang mengandalkan komoditas dunia juga terdampak langsung pada
anjlognya permintaan luar negeri. Ekspor pun sepanjang tahun 2016 pada migas
turun drastis sebesar -29,4%, sementara nonmigas turun -0,31%.
Pada
sisi domestik, turunnya kinerja manufaktur dipengaruhi oleh: tingginya biaya
produksi, turunnya produktivitas, ketergantungan bahan baku, ketidakjelasan
kebijakan impor pemerintah, dan tingginya suku bunga kredit perbankan.
Biaya
produksi yang tinggi semakin menambah beban perusahaan untuk bertahan di tengah
kondisi global yang melemah. Tingginya tarif listrik, biaya energi, logistik
hingga upah buruh menjadi tambahan biaya produksi perusahaan. Meskipun upah
buruh Indonesia hanya satu per tujuh belas (1:17) upah buruh Amerika Serikat,
akan tetapi kondisi manufaktur Indonesia yang masih bertumpu pada input tenaga
kerja (labor intensive) pasti akan
sangat berpengaruh signifikan ketika terjadi kenaikan upah meskipun hanya satu
persen saja.
Kenaikan
kebijakan upah minimum provinsi ternyata tidak serta merta diikuti dengan
meningkatnya produktivitas tenaga kerja. Kondisi sebaliknya terjadi dimana
produktivitas tenaga kerja sektor manufaktur justru kian turun sepanjang enam
tahun terkahir. Hal ini direpresentasikan dari besarnya output yang dihasilkan
setiap pekerja dari Rp 16,91 juta tahun 2010 turun menjadi Rp 14,24 juta pada
tahun 2016.
Beberapa
paket kebijakan ekonomi pemerintah juga kurang berjalan efektif, seperti
kebijakan impor, logistik dan kemudahan usaha. Kebijakan impor pemerintah yang
tidak jelas bahkan seakan berpihak pada produk impor semakin memperparah
kondisi daya saing produk lokal. Misalnya, pemerintah akan mengenakan pajak 3%
PPh final jika perusahaan lokal menjual boiler
tank, sementara jika perusahaan lokal membeli boiler dari China justru tidak dikenakan pajak sama sekali.
Terakhir,
suku bunga kredit yang masih sangat tinggi ini seakan enggan untuk turun
mengikuti penurunan suku bunga acuan. Padahal,
Bank Indonesia telah mengubah suku bunga acuannya dari BI Rate menjadi BI 7 Day
Repo Rate dengan tingkat yang lebih rendah. Perbankan
cenderung enggan menurunkan bunga kredit dibandingkan bunga simpanannya.
Kondisi manufaktur yang turun juga meningkatkan risiko kredit macet sektor
tersebut. Hal ini tercatat dari rasio NPL sektor manufaktur yang semakin
meningkat, yaitu dari 2,8% pada Januari 2016 menjadi 4,0% pada Oktober 2016.
Pertumbuhan
kredit sektor manufaktur pun merosot tajam, dari periode Januari-Oktober 2015
sebesar 16,4% menjadi 6% pada periode yang sama tahun 2016. Kesenjangan
penurunan suku bunga kredit dan simpanan ini semakin memperlebar spread perbankan. Per November 2016,
keuntungan yang diperoleh dari bunga bank (Net
Interest Margin, NIM) meningkat menjadi 5,62% dibandingkan periode yang
sama tahun 2015 sebesar 5,35%. Kebijakan Bank Sentral pun sepertinya tidak
berjalan efektif dan gagal mendorong perekonomian di tahun 2016.
Gempuran
impor yang tinggi, perlu diwaspadai salah satunya dengan cara menambah hambatan
non-tarif (non-tariff measures) pada
beberapa komoditas seperti: mesin, peralatan mekanik dan listrik. Kebijakan NTM
dianggap paling relevan untuk kondisi Indonesia saat ini, mengingat sudah
terjalinnya beberapa kerjasama perdagangan bebas dengan syarat pajak nol
persen. Kebijakan subsidi listrik, energi, logistik, kemudahan usaha dan suku
bunga kredit yang lunak juga perlu diupayakan pemerintah.
Buruknya
kinerja manufaktur ini sebenarnya sudah lama terjadi dan masih menjadi
pekerjaan rumah besar bagi pemerintah. Pemerintah perlu melakukan usaha ekstra
guna mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang selama dua dekade terakhir hanya
bertahan di kisaran lima persen saja. Semangat industrialisasi perlu
dibangkitkan kembali setelah lama kian terpuruk. Sinergi antar sektor riil,
fiskal dan moneter pun perlu segera diperbaiki guna mendongkrak roda
pertumbuhan manufaktur Indonesia.