Rabu, 20 Desember 2017

Investasi di Tahun Politik

Pemilu secara serentak memang baru akan digelar pada April 2019. Namun, suhu politik sudah mulai memanas pasca bergulirnya Perpu Ormas dan Paket UU Pemilu. Selain itu, pilkada serentak juga turut mengawali panasnya pesta rakyat tahun depan. Ada 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten yang akan terlibat dalam kegiatan pilkada serentak pada 27 Juni 2018. Perbedaan dengan pilkada tahun 2015, pilkada serentak tahun 2019 ini akan diikuti oleh beberapa provinsi yang memiliki PDRB cukup besar, yakni: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan.
Tantangan dan peluang dari penyelenggaraan pilkada serentak dan pemilu ini akan berdampak pada kondisi ekonomi dalam dua tahun ke depan. Kampanye pemilihan presiden juga sudah mulai digelar pada bulan Oktober 2018 nanti. Perubahan pola bisnis pelaku usaha yang cenderung mengikuti kondisi politik suatu negara akan menjadi tantangan sendiri. Sementara dari sisi peluang diantaranya adanya peningkatan belanja masyarakat menjelang puncak perhelatan pesta rakyat ini.
Jika dilihat kondisi ekonomi saat ini, peran investasi langsung saja hingga kuartal III 2017 hanya tumbuh sebesar 13,21%, atau lebih lambat dibandingkan periode yang sama tahun 2016 sebesar 13,35%. Penurunan investasi langsung di tahun 2017 terutama disebabkan oleh turunnya minat investor untuk menanamkan modal di sektor manufaktur. Investasi langsung di sektor manufaktur hingga kuartal III 2017 mengalami kontraksi hingga -16,71%, dibanding periode yang sama tahun lalu yang mencapai pertumbuhan 48,46%.
Di sisi lain, investasi tetap bruto justru menunjukkan kenaikan yang signifikan. Hingga kuartal III 2017, penanaman modal tetap domestik bruto tumbuh sebesar 5,77% (yoy), jauh lebih cepat dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya tumbuh 4,36%. Kontribusi komponen investasi tetap bruto terhadap PDB pun naik dari 31,75% pada tiga kuartal pertama 2016 menjadi 31,98% hingga kuartal III 2017. Kenaikan investasi tetap bruto tahun ini ditopang oleh sektor bangunan yang berkontribusi terhadap investasi tetap bruto sebesar 75%. Kenaikan pertumbuhan investasi tetap bruto ini diperkirakan akan masih berlanjut hingga tahun 2018.
Kenaikan marginal pertumbuhan ekonomi global tahun 2018 diperkirakan akan mendorong aliran investasi ke negara-negara berkembang. Pertumbuhan ekonomi global tahun 2018 secara menyeluruh diperkirakan menguat tipis dari 3,6% menjadi 3,7%. Akan tetapi, peningkatan pertumbuhan ini lebih banyak didorong oleh negara-negara berkembang yang diprediksi tumbuh 4,9% lebih tinggi dibandingkan negara-negara maju yang hanya tumbuh 2,0%. Dengan demikian, aliran investasi dari negara-negara maju sebenarnya relatif terbatas, meskipun masih memiliki potensi peningkatan, khususnya investasi dari Tiongkok.
Sejalan dengan perbaikan ekonomi global, kondisi iklim investasi tahun depan diperkirakan akan lebih baik seiring dengan membaiknya peringkat Indonesia di beberapa indikator investasi. Per Oktober 2017, peringkat daya saing Indonesia naik dari peringkat ke-41 menjadi ke-36 dari 137 negara.  Di saat yang sama, peringkat kemudahan dalam berbisnis (ease of doing business) pun membaik dengan menempati peringkat ke-72, lebih tinggi dari tahun sebelumnya di peringkat ke-91.  Selain itu, peringkat kredit pun telah memasuki zona investment grade berdasarkan penilaian seluruh lembaga rating: Standard & Poor’s (S&P), Moody’s Investors Service dan Fitch Rating.
Panasnya Tahun Politik
Meski demikian, memanasnya suhu politik akibat penyelenggaraan Pilkada di banyak daerah dan persiapan menjelang Pemilu tahun 2019 berpotensi untuk menahan investasi swasta di tahun 2018. Pemilu tahun 2019 merupakan Pemilu dimana pejawat akan maju mencalonkan diri untuk kedua kalinya. Berdasarkan pengalaman pemilu di tahun 2009 dimana pejawat saat itu juga maju mencalonkan diri untuk periode kedua, dana pihak ketiga (DPK) menjelang tahun tersebut mengalami peningkatan pesat.
Artinya, para pemilik dana di perbankan yang sebagian besar merupakan masyarakat berpendapatan menengah atas cenderung lebih berhati-hati untuk melakukan konsumsi maupun investasi. Para investor lebih memilih “wait and see” pada periode menjelang tahun politik. Pelaku bisnis baru akan lebih yakin untuk berinvestasi dan melakukan ekspansi usaha setelah masa Pemilu usai, atau setelah mendapatkan gambaran lebih jelas tentang arah kebijakan pemimpin yang baru.
Panasnya suhu politik tahun depan dapat menahan investasi swasta tumbuh lebih cepat dibanding tahun ini. Meski demikian, tahun politik 2018-2019 diharapkan dapat memberi sinyal positif bagi perekonomian nasional. Di satu sisi, penyelenggaraan Pilkada dan persiapan Pemilu berpotensi meningkatkan belanja masyarakat yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Namun di sisi lain, memanasnya suhu politik juga berpotensi menurunkan optimisme masyarakat khususnya kelas menengah atas terhadap prospek kondisi ekonomi. Pemilu tahun 2019 merupakan Pemilu dimana pejawat akan maju mencalonkan diri untuk kedua kalinya.
Jika dilihat secara historis, pada pemilu tahun 2009 dimana pejawat saat itu juga maju mencalonkan diri untuk periode kedua, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) menjelang tahun tersebut sangat pesat. Artinya, para pemilik dana di perbankan yang sebagian besar merupakan masyarakat berpendapatan menengah atas cenderung lebih berhati-hati untuk menggunakan uangnya. Meskipun kehati-hatian masyarakat saat itu sebagian juga disebabkan oleh kekhawatiran terhadap dampak krisis ekonomi global di tahun 2008. Kondisi ini berbeda dengan kondisi menjelang Pemilu 2014 dimana sudah ada kepastian akan terjadinya pergantian kepemimpinan karena pejawat tidak dapat lagi mencalonkan diri setelah menjabat selama dua periode.
Oleh karena itu, investasi diperkirakan akan tetap positif tahun depan meski tidak lebih tinggi dibanding tingkat pertumbuhan tahun ini. Meski demikian, sejalan dengan penyelenggaraan pilkada 2018 diharapkan mampu mendongkrak konsumsi swasta yang berperan sebagai penyumbang terbesar dalam ekonomi nasional.

Jumat, 02 Juni 2017

PELUANG EMAS MEMBIDIK BISNIS MAKANAN HALAL GLOBAL

Popularitas produk halal yang kian melesat, membuka peluang emas pengembangan bisnis halal yang lebih prospektif khususnya di Indonesia.
Bisnis halal dapat diartikan sebagai usaha yang pengembangannya berdasarkan hukum Islam, mulai dari produk makanan, obat-obatan, fesyen, kosmetik, wisata, dan keuangan. Produk halal telah menjadi fenomena dunia, semua negara berlomba menyambut peluang emas bisnis halal. Bahkan negara yang penduduknya mayoritas non-muslim seperti Thailand, Korea dan Jepang saja saat ini gencar mengejar standardisasi produk guna mendapatkan label halal.
Produk halal sangat memikat perhatian tidak hanya umat muslim saja tetapi juga umat non-muslim dunia. Produk halal tumbuh dengan pesat berdasarkan permintaan konsumen non-muslim juga. Hal ini terkait fakta bahwa produk halal terjamin lebih sehat dan aman bagi kesehatan.
Penduduk non-muslim di Rusia bahkan membeli di kedai muslim karena mereka percaya produk yang dijual lebih segar, aman dan bebas infeksi. Hal serupa juga terjadi di Filipina, dimana penduduk non-muslimnya juga lebih memilih produk makanan yang sudah berlabel halal demi alasan kesehatan.
Semakin pesatnya perkembangan bisnis halal ini didukung oleh beberapa faktor, seperti luasnya pangsa pasar, tingginya pertumbuhan populasi, kemajuan teknologi, jaminan keamanan makanan, kesadaran konsumen dan adanya payung hukum yang jelas.
Berdasarkan catatan Global Islamic Economy Report 2016/17, belanja penduduk muslim global pada produk dan jasa sektor ekonomi halal mencapai lebih dari USD1,9 triliun pada tahun 2015. Pada saat yang sama, aset sektor keuangan syariah ditaksir sebesar USD2 triliun, diikuti sektor makanan dan minuman sebesar USD1,2 triliun, sektor pakaian (USD 243 miliar), media dan rekreasi (USD189 miliar), travel (USD151 miliar dan obat-obatan dan kosmetik (USD133 miliar). 
Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia menempati peringkat pertama sebagai konsumen terbesar produk halal pada sektor makanan dan minuman, yaitu dengan jumlah pengeluaran sektor mamin sebesar USD155 miliar.
Pertumbuhan populasi penduduk muslim Indonesia sebesar 16,7 persen per tahun, jauh lebih cepat dibandingkan pertumbuhan populasi muslim global (2,9 persen). Sebaliknya, pertumbuhan populasi non-muslim dunia hanya sebesar 2,2 persen saja.
Struktur penduduk Indonesia yang didominasi generasi milenial (usia 17-37 tahun) memiliki interaksi yang besar pada sektor makanan halal, yakni sebanyak 4,2 juta penduduk. Sentimen positif generasi milenial terhadap produk makanan halal juga cukup positif, yaitu 71 persen positif, 10 persen netral dan 18 persen negatif. Artinya bagi pencinta makanan (foodies) yang didominasi generasi milenial memiliki kunci utama sebagai penggerak bisnis makanan halal di Indonesia.
Generasi milenial dikenal sebagai generasi yang anti gagap teknologi, dimana segala aktifitas selalu tersedia dengan gawai di saku mereka. Generasi ini selalu dapat bekerja dimana dan kapan pun mereka berada, karena kemudahan teknologi telah mengubah pola kerja yang konvensional menjadi lebih praktis, cepat dan modern.
Keberadaan kemajuan teknologi ini juga membuka peluang bisnis halal melalui online shop. Pendapatan merchant di Tokopedia sebagai aplikasi yang paling sering digunakan di Indonesia (50,7%) saja mencapai Rp1 triliun per bulan.
Kesadaran konsumen dunia pun terhadap makanan halal juga meningkat pesat. Hal ini ditandai dengan meningkatnya penjualan makanan halal di Moscow, Rusia dari USD45 tahun 2004 meningkat menjadi USD100 juta pada tahun 2008 (Muhammad, 2007). Sementara menurut Canadian Agri-Food Trade Service Report (2008) menunjukkan bahwa adanya permintaan yang pesat pada produk halal oleh negara-negara non-muslim.
Selain itu, keberadaan bisnis makanan halal juga ditunjang dari aspek legalitas hukum dan sertifikasi demi perlindungan konsumen. Indonesia sendiri telah memiliki sebuah badan otonom yang memiliki wewengan memberikan sertifikasi halal pada suatu produk.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dibentuk sejak tahun 1989 bermula atas merebak munculnya kegelisahan masyarakat pada isu lemak babi pada sejumlah makanan. MUI juga sudah menjadi standar global yang diakui oleh World Halal Food Council (WHFC). Pada saat ini sedikitnya ada 55 lembaga standardisasi Halal di dunia yang mengikuti standar Halal MUI.
Keseriusan pemerintah Indonesia terhadap jaminan produk halal ini juga telah diimplementasikan melalui UU Nomor 33 Tahun 2014 dengan dibentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) pada akhir tahun 2016.
BPJPH ini bertugas mulai dari kebijakan teknis, pemantauan, evaluasi dan pelaporan, pengawasan dan administrasi pada jaminan produk halal, sehingga dapat terjamin kehalalan produk yang akan dikonsumsi baik dari impor maupun diekspor ke berbagai negara. Payung hukum kuat serta standardisasi yang terjamin menjadi poin plus Indonesia untuk ikut bersaing dalam bisnis halal global.
Dibalik semua faktor pendukung tersebut, Indonesia masih dihadapkan beberapa tantangan yang besar untuk terjun pada bisnis halal global. Pada sisi domestik, di antaranya adalah masih minimnya sejumlah produk dalam negeri yang telah mendaftarkan standardisasi halal pada MUI.
Pada saat ini baru ada 37% produk yang telah tersertifikasi halal MUI. Hal ini disebabkan oleh kesadaran masyarakat dan pelaku industri Indonesia terhadap produk-produk halal masih rendah. Padahal, sertifikasi halal adalah kunci utama suatu produk dapat diterima di pasar dunia.
Sementara di tataran global, serbuan produk impor khususnya sektor makanan dan minuman menjadi tantangan yang cukup berat. Indonesia sebagai negara muslim terbesar adalah pasar yang menggiurkan bagi negara lain untuk berlomba-lomba meraih konsumen. Malaysia yang hanya berpenduduk sebanyak 11,78% dari penduduk Indonesia saja, justru mampu menjadi negara urutan pertama produsen makanan halal dunia.
Pemerintah Malaysia sangat mendukung sekali dalam menyambut fenomena bisnis halal global, mulai dari penyediaan sistem sertifikasi halal, standar dan peraturan, infrastruktur, insentif, dan perbankan syariah.
Terlepas dari peluang dan tantangan tersebut, Indonesia masih perlu bekerja keras untuk mengejar target bisnis halal global, khususnya dalam standardisasi produk halal. Oleh karena itu, sinergi antara pemerintah, pebisnis, dan stakeholder lainnya sangat diperlukan guna mencapai target peluang emas bisnis halal global.

Dipublikasikan: Bisnis Indoonesia, 30 Mei 2017.