Pemilu
secara serentak memang baru akan digelar pada April 2019. Namun, suhu politik
sudah mulai memanas pasca bergulirnya Perpu Ormas dan Paket UU Pemilu. Selain
itu, pilkada serentak juga turut mengawali panasnya pesta rakyat tahun depan.
Ada 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten yang akan terlibat dalam kegiatan
pilkada serentak pada 27 Juni 2018. Perbedaan dengan pilkada tahun 2015,
pilkada serentak tahun 2019 ini akan diikuti oleh beberapa provinsi yang
memiliki PDRB cukup besar, yakni: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera
Utara, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan.
Tantangan
dan peluang dari penyelenggaraan pilkada serentak dan pemilu ini akan berdampak
pada kondisi ekonomi dalam dua tahun ke depan. Kampanye pemilihan presiden juga
sudah mulai digelar pada bulan Oktober 2018 nanti. Perubahan pola bisnis pelaku
usaha yang cenderung mengikuti kondisi politik suatu negara akan menjadi
tantangan sendiri. Sementara dari sisi peluang diantaranya adanya peningkatan
belanja masyarakat menjelang puncak perhelatan pesta rakyat ini.
Jika
dilihat kondisi ekonomi saat ini, peran investasi langsung saja hingga kuartal
III 2017 hanya tumbuh sebesar 13,21%, atau lebih lambat dibandingkan periode
yang sama tahun 2016 sebesar 13,35%. Penurunan investasi langsung di tahun 2017
terutama disebabkan oleh turunnya minat investor untuk menanamkan modal di
sektor manufaktur. Investasi langsung di sektor manufaktur hingga kuartal III
2017 mengalami kontraksi hingga -16,71%, dibanding periode yang sama tahun lalu
yang mencapai pertumbuhan 48,46%.
Di
sisi lain, investasi tetap bruto justru menunjukkan kenaikan yang signifikan.
Hingga kuartal III 2017, penanaman modal tetap domestik bruto tumbuh sebesar
5,77% (yoy), jauh lebih cepat dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang
hanya tumbuh 4,36%. Kontribusi komponen investasi tetap bruto terhadap PDB pun naik
dari 31,75% pada tiga kuartal pertama 2016 menjadi 31,98% hingga kuartal III
2017. Kenaikan investasi tetap bruto tahun ini ditopang oleh sektor bangunan
yang berkontribusi terhadap investasi
tetap bruto sebesar 75%. Kenaikan pertumbuhan investasi tetap bruto ini
diperkirakan akan masih berlanjut hingga tahun 2018.
Kenaikan
marginal pertumbuhan ekonomi global tahun 2018 diperkirakan akan mendorong
aliran investasi ke negara-negara berkembang. Pertumbuhan ekonomi global tahun
2018 secara menyeluruh diperkirakan menguat
tipis dari 3,6% menjadi 3,7%. Akan tetapi, peningkatan pertumbuhan ini lebih
banyak didorong oleh negara-negara berkembang yang diprediksi tumbuh 4,9% lebih
tinggi dibandingkan negara-negara maju yang hanya tumbuh 2,0%. Dengan demikian,
aliran investasi dari negara-negara maju sebenarnya relatif terbatas, meskipun
masih memiliki potensi peningkatan, khususnya investasi dari Tiongkok.
Sejalan
dengan perbaikan ekonomi global, kondisi iklim investasi tahun depan
diperkirakan akan lebih baik seiring dengan membaiknya peringkat Indonesia di
beberapa indikator investasi. Per Oktober 2017, peringkat daya saing Indonesia
naik dari peringkat ke-41 menjadi ke-36 dari 137 negara. Di saat yang sama, peringkat kemudahan dalam
berbisnis (ease of doing business) pun
membaik dengan menempati peringkat ke-72, lebih tinggi dari tahun sebelumnya di
peringkat ke-91. Selain itu, peringkat
kredit pun telah memasuki zona investment
grade berdasarkan penilaian seluruh lembaga rating: Standard & Poor’s
(S&P), Moody’s Investors Service dan Fitch Rating.
Panasnya Tahun Politik
Meski
demikian, memanasnya suhu politik akibat penyelenggaraan Pilkada di banyak
daerah dan persiapan menjelang Pemilu tahun 2019 berpotensi untuk menahan
investasi swasta di tahun 2018. Pemilu tahun 2019 merupakan Pemilu dimana pejawat
akan maju mencalonkan diri untuk kedua kalinya. Berdasarkan pengalaman pemilu
di tahun 2009 dimana pejawat saat itu juga maju mencalonkan diri untuk periode
kedua, dana pihak ketiga (DPK) menjelang tahun tersebut mengalami peningkatan
pesat.
Artinya,
para pemilik dana di perbankan yang sebagian besar merupakan masyarakat
berpendapatan menengah atas cenderung lebih berhati-hati untuk melakukan
konsumsi maupun investasi. Para investor lebih memilih “wait and see” pada periode menjelang tahun politik. Pelaku bisnis
baru akan lebih yakin untuk berinvestasi dan melakukan ekspansi usaha setelah
masa Pemilu usai, atau setelah mendapatkan gambaran lebih jelas tentang arah
kebijakan pemimpin yang baru.
Panasnya
suhu politik tahun depan dapat menahan investasi swasta tumbuh lebih cepat
dibanding tahun ini. Meski demikian, tahun politik 2018-2019 diharapkan dapat
memberi sinyal positif bagi perekonomian nasional. Di satu sisi,
penyelenggaraan Pilkada dan persiapan Pemilu berpotensi meningkatkan belanja
masyarakat yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Namun di sisi lain,
memanasnya suhu politik juga berpotensi menurunkan optimisme masyarakat
khususnya kelas menengah atas terhadap prospek kondisi ekonomi. Pemilu tahun
2019 merupakan Pemilu dimana pejawat akan maju mencalonkan diri untuk kedua
kalinya.
Jika
dilihat secara historis, pada pemilu tahun 2009 dimana pejawat saat itu juga
maju mencalonkan diri untuk periode kedua, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK)
menjelang tahun tersebut sangat pesat. Artinya, para pemilik dana di perbankan
yang sebagian besar merupakan masyarakat berpendapatan menengah atas cenderung
lebih berhati-hati untuk menggunakan uangnya. Meskipun kehati-hatian masyarakat
saat itu sebagian juga disebabkan oleh kekhawatiran terhadap dampak krisis
ekonomi global di tahun 2008. Kondisi ini berbeda dengan kondisi menjelang
Pemilu 2014 dimana sudah ada kepastian akan terjadinya pergantian kepemimpinan
karena pejawat tidak dapat lagi mencalonkan diri setelah menjabat selama dua
periode.
Oleh karena itu, investasi
diperkirakan akan tetap positif tahun depan meski tidak lebih tinggi dibanding
tingkat pertumbuhan tahun ini. Meski
demikian, sejalan dengan penyelenggaraan pilkada 2018 diharapkan mampu
mendongkrak konsumsi swasta yang berperan sebagai penyumbang terbesar dalam
ekonomi nasional.